Remaja “Mencapai Eksistensi Melalui Nyantri”


Remaja merupakan masa yang paling penting dalam kehidupan manusia, dimana masa remaja adalah masa untuk berkontribusi dan berkarya, di masa inilah seorang anak mulai memikirkan siapa dirinya dan apa yang menjadi tujuan hidupnya. Maka dari itu masa remaja bisa dikatakan sebagai masa pembentukan karakter dan jati diri seseorang. Menurut Jones & Hartmann selama masa remaja kesadaran mencari identitas menjadi lebih kuat, karena itu ia kembali mencari jati diri mereka “Siapakah saya saat ini?” atau “Bagaimana saya di masa yang akan datang?”

Salah satu kelompok yang masuk dalam kategori remaja adalah santri. Orang awam memandang santri sebagai orang yang ahli di bidang agama. Benarkan begitu? Menurut Rizki setidaknya ada dua pendapat yang dijadikan rujukan untuk memaknai santri. Pertama, santri berasal dari kata Santri bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Kedua, kata santri yang berasal dari bahasa jawa cantrik yang berarti sesorang yang mengikuti seorang guru kemanapun pergi atau menetap dengan tujuan dapat belajar suatu keilmuan kepadanya. Menurut Manfred, santri terdiri dari kata sant yang berarti manusia baik dan tri yang bermakna suka menolong. Pendapat lain juga menyebutkan santri berasal dari bahasa India  shastri yang berarti ilmuan Hindu yang pandai menulis oleh karena itu jika dipandang dari sudut islam berarti orang-orang yang pandai dalam pengetahuan agama islam. Sedangkan pengertian secara umum, santri adalah orang yang belajar agama islam dan mendalami agama islam di sebuah pesantren yang menjadi tempat belajar bagi para santri.

Pesantren berasal dari kata pe-santr-ian yang berarti tempat tinggal santri atau yang lebih dikenal sebagai pondok, pondok berasal dari kata فندق  yang berarti penginapan atau asrama. Pesantren merupakan institusi pendidikan tertua yang ada di Indonesia dan mengadopsi sisitem pendidikan keagamaan yang berkembang sejak awal datangnya islam ke nusantara. Dasar tujuan didirikan pesantren adalah  menciptakan dan  mengembangkan kepribadian muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, serta bermanfaat bagi masyarakat. Tujuan pesantren bukan hanya semata-mata untuk memperkaya diri sendiri tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.  Maka dari itu karakter unik pendidikan model pesantren adalah populis, nerimo ananing pandum, suka berderma, ikhlas dan karakter lainnya yang amat jarang di temukan dalam masyarakat modern saat ini.

Dalam tradisi pesantren, ada dua kelompok santri, yang pertama santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah jauh dan menetap di pesantren. Yang kedua, santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa sekelilingnya, yang biasanya mereka tidak tinggal di pesantren kecuali kalau waktu belajar atau mengaji saja, mereka ngelaju (bolak-balik) dari rumah. Dalam sebuah pesantren biasanya dipimpin oleh seorang kiyai dan di bantu oleh santri senior yang diamanatkan  untuk mengajar kita-kitab yang memiliki tingkatan mudah.

Terlepas dari pengertian santri dan pesantren, secara personal setiap orang memiliki pengertian santri tersendiri terkhusus bagi sang santri itu sendiri. Salah satu makna terselubung dari gelar santri adalah eksistensi diri. Menurut Kirkegaard eksistensi adalah suatu keputusan yang berani diambil oleh manusia untuk menentukan hidupnya, dan menerima konsekuensi yang  telah manusia ambil. Jika manusia tidak berani mengambilnya maka manusia tidak bereksistensi dengan sebenarnya. Al-Gahzali membagi manusia kedalam tiga golongan yaitu:
  1. Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali
  2. Kaum pilihan (الخواص)  yang akalnya tajam dan berpikir secara mendalam
  3. Kaum penengkar (اهل الجدل) kaum yang mematahkan argumen-argumen

Berdasarkan pembagian golongan tersebut, upaya remaja untuk lebih mengeksistensikan diri mereka melalui pondok pesantren, dimana dalam urusan keagamaan remaja berusaha untuk meningkatkan kualitas diri mereka dari kaum awam menuju kaum pilihan dan berlanjut ke dalam kaum penengkar. Eksistensi dalam konteks ini dijadikan sebagai hal yang positif dimana melalui pendidikan pondok pesantren yang bersistem bandongan, sorogan, hafalan dan musyawarah, diharapkan para santri mampu meningkatkan pengetahuan mereka mengenai ilmu agama disamping dengan pengembangan ilmu pengetahuan umum lainnya.

Hal yang dibutuhkan oleh seorang remaja dalam masa pembentukan karakternya guna eksistensi adalah memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan  sense of personal Identity yaitu keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa. Menurut John Hill terdapat tiga komponen dasar dalam membahas periode remaja:
Perubahan fundamental remaja yang meliputi perubahan biologis, kognitif dan sosial
Perubahan yang fundamental dan bersifat universal
Perkembangan psikososial terdapat lima kasus dari psikososial yaitu: identity,intimacy, sexuality dan achievement

Upaya eksistensi yang dilakukan remaja melalui pesantren seharusnya tidak dilakukan secara instan, karena waktu belajar yang singkat akan berimbas pada perolehan ilmu-ilmu dasar saja. Karena yang diharapkan bukan hanya kegiatan positif saja yang di dapat saat mondok tetapi juga uswatun hasanah dari para Kyai atau Ustadz yang dapat di tiru dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam  masa remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya seperti moral, perbaikan moral juga termasuk kedalam upaya eksistensi remaja. Sebagaimana sabda Nabi :

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” ( HR. Muslim)

Maka dari itu salah satu cara memperbaikinya melalui pesantren yang notabenenya mengajarkan ilmu agama. Menurut Adams dan Gullota, agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. 
Berbagai upaya pengeksistensian bagi remaja melalui nyantri ternyata juga berdampak negatif pada melencengnya moral, adapun faktor yang mempengaruhi yaitu:
  1. Faktor Internal, faktor yang berasal dari dalam diri santri itu sendiri, dimana adanya pihak ketiga yang berperan untuk memaksa calon santri tinggal di pondok alhasil sang santri berbuat seenaknya setelah kembali ke kampung halaman mereka karena ada rasa ketidak-iklasan menuntut ilmu di pesantren.
  2. Faktor Eksternal, yaitu faktor lingkungan alumni santri yang notabenenya kurang mendapatkan ajaran agama, dan ia tidak punya pendirian yang teguh akan mudah terpengaruh dengan lingkungan.


Tidak terlepas dari upaya pengeksistensian seorang remaja melalui nyantri, remaja seharusnya selalu berpegang teguh pada tugas utama kita sebagai manusia sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَاْلاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku ( QS. Adz-Dzariyat [51]: 65)

Semoga dalam mengambil segala keputusan kita tidak hanya berpatokan pada urusan duniawi namun juga akhirat. 


Daftar Pustaka

Hidayat, Mansur. “Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren”. Jurnal Komunikasi ASPIKOM, Volume 2 Nomor 6, Januari 2016.
Fausiyah. “Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan yang Efektif” ISSN : 2548-6896.
Muhakamurrohman, Ahmad. “Pesantren: Santri, Kiai, dan Tradisi” Jurnal Kebudayaan Islam, Volume 12 Nomor 2, Juli-desember 2014.
Suwarno. “Pondok Pesantren dan Pembentukan Karakter Santri” Jurnal Ilmiah Kajian Islam, Volume 2 Nomor 1, Agustus 2017.
Susanto, Happy dan Mudzakki, muhammad. “ISTAWA: Perubahan Perilaku Santri”Jurnal Pendidikan Islam, Volume 2 Nomor 1, Juli-Desember 2016.
Nasution, Harun. (2014) Filsafat dan Mistisisme dalam Islam Jakarta: Bulan Bintang.

Comments

Popular posts from this blog

Song Review - Seandainya (Gita & Paul)

Ngebolang Kuy! Edisi Borobudur

About Me