Aku dan Intuisi (Perjalanan Memahami Kehidupan)

Banyuwangi, 26 Juli 2019

Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jawatan, BWI (awal tahun 2019)

Belakangan ini aku suka menulis, maksudku lebih banyak dari biasanya, aku banyak melewati berbagai hal yang membantu membentuk diri menjadi sebuah pribadi yang terus berkembang, bukan bentukan orang tua, dan mendewasakan pikiran. Aku bersyukur, dua puluh tahun lebih lima bulan bernapas gratis di bumi Allah yang ajaib sehingga sangat pantas untuk selalu berdzikir akan keagungan-Nya.

Kali ini aku akan sedikit bercerita tentang pergolakan hebat yang terus membayangiku tiga tahun terakhir, sebuah umur yang memang perlu merenungi arti sebuah kehidupan, dimana kita harus mampu mengimbangi dunia dan akhirat, mungkin itu konsep awal sebuah penciptaan makhluk bagiku kala itu.

Beruntung aku terlahir dalam keluarga islam yang tak mempersulitkanku untuk memahami kehidupan, setidaknya untuk hal aqidah pokok. Walaupun demikian, aku selalu bermimpi terlahir dalam keluarga yang benar-benar mempelajari dan mengkaji islam secara mengakar. Ya, mungkin bukan takdirku, tapi takdir generasiku.

Teringat sebuah buku yang menjelaskan kisah perjalanan hidup Rasulullah SAW dalam Sirah Nabawiyah karya Syeikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri yang aku pinjam dari salah seorang teman. Di dalamnya sungguh menceritakan bagaimana pergolakan yang terjadi saat awal agama islam dimunculkan. Bagaimana bisa sebuah agama baru dengan cepatnya menguasai wilayah Arab dan non Arab hingga kini agama itu menjadi agama mayoritas dunia. Sungguh menarik untuk di kaji.

Aku memang beruntung dan semoga aku tak pernah lupa untuk bersyukur, kemurahan sang Agung menggiring hati ini untuk bisa lebih dekat lagi dengan agama kedamaian. Walaupun aku sangat menyadari, pengetahuan diri akan agama perdamaian masih belum layak untuk di akui sebagai penganut, karena diri ini hanya ikut-ikutan. Wajar saja orang kafir kala itu sangat sulit menerima agama baru ini, karena memang hanya yang terpilihlah yang Allah beri hidayah.

Aku, berusaha untuk mencari jati diri serta visi penciptaan, yang kudapati sajauh ini hanya “Ridho Allah” titik. Aku dapati diriku yang kala itu berumur tujuh tahun senang sekali menonton sinetron dan menangis melihat salah satu tokoh meninggal, lalu diri ini berpikir “walaupun dalam sebuah sinetron seseorang meninggal namun di dunia nyata ia masih hidup, lalu bagaimana jika seseorang di dunia nyata meninggal, dimanakah dia akan hidup?”

Waktu berjalan begitu saja tanpa kusadari tujuh belas tahun aku menginjakkan kaki di bumi manusia ini. Mungkin kala itu aku adalah bentukan lingkungan yang beradaptasi layaknya seekor hewan untuk dapat di akui dunia bahwa aku ada. Hingga tiga tahun berjalan, tahun pertama masih sama, diri seorang bentukan. Tahun kedua adalah transisi dan aku memilih jiwa yang baru penuh kebebasan. Tahun ketiga ini, entah apa yang sedang terkonsep dalam pikiranku, tapi sungguh aku berada hampir di ujung tanduk, yang ingin jatuh menyelami lebih dalam kehidupan sehingga bukan jati diri baru yang aku harapkan melainkan hati seorang hamba yang patuh dan berdedikasi tinggi.

Entah apa yang aku tulis ini benar atau salah, aku tak peduli. Karena ini adalah intuisi. Pengembaraan spiritual yang akan terus aku jelajahi dan aku renungi setiap sudut, walaupun apa yang kutemukan selalu saja terlupakan, setidaknya aku telah mencoba dan berusaha menjangkaunya, selebihnya itu Ridho Allah. Sebetulnya begitu simple sebuah kehidupan, hanya egoisitas sajalah yang merusak kemurniannya.

Bagiku, dunia bukan hanya kejam, tapi surga dan nerakanya manusia. Ketika aku berkata “aku mantap” saat itulah diri dalam kekhawatiran. “Dan bagiku keraguan adalah pertanda jangan lanjutkan (kata-kata ini aku dapatkan dari seorang teman SMA yang sampai saat ini aku tak sanggup menyapanya)”. Mungkin aku yang dulu tak berpikir panjang dengan suatu urusan, dimana ada celah toleransi disitu ada pelanggaran. Hidup itu totalitas! (aku kala itu) tanpa tau sebuah hak yang mutlak akan merampas hak yang lain. 

Ketidakmampuanku bukan hanya daya ingat, tapi juga bahasa dan pemahaman kontekstual. Entah mengapa malam ini aku kehilangan salah satu rasa aman dalam duniaku. Rasa yang ternyata aku genggam delapan belas bulan. Awalnya memang paksaan, dan terus aku paksakan, hingga akhirnya aku memutuskan untuk berhenti memaksa dan kudapati diri ini sudah tidak terpaksa namun terlambat untuk kembali. Tak apa, aku bisa cari jalan lain, walaupun aku tau tak seaman dahulu. Bukan maksud aku egois, tapi kondisi mendesakku dan akupun suka memperoleh sesuatu dari berbagai sudut, ya saat ini beginilah pikiranku. Entah sampai kapan pengembaraan ini berakhir, tapi aku tak mau merasakan hal yang dua bulan terakhir aku alami. Aku merasakan setiap pagiku adalah pagi terakhir, malamku tak akan berganti dan siangku hanya harapan. Yang ada hanya ketakutan akan kematian, memang Tuhan selalu punya cara untuk menegur hambanya yang terlampau batas ini.

Hai sobar, entah siapapun kalian, bagaimana masa lalu kalian, cobalah berpikir semua hanya settingan belaka, memang semua manusia sudah punya takdir, namun kita sendiri punya pilihan. Konsep awalku tentang takdir ialah ketika kau memilih sesuatu, itu akan membentuk takdir baru. Tapi kusadari itu tidaklah mutlak, siapa yang bisa menjamin keselamatan seorang ahli ibadah yang selalu memilih jalan kebaikan namun akhirnya mati dalam keadaan tercela Naudzubillah mindzalik. Hanya ketergantungan kepada Allahlah yang saat ini aku usahakan dan semoga terus aku tingkatkan. Aamiin

Tak ada unsur apapun dalam tulisanku kali ini, aku hanya ingin berbagi, semoga bermanfaat.


Wassalammu”alaikum Warahmatullahi Wabaraatuh

Comments

Popular posts from this blog

Song Review - Seandainya (Gita & Paul)

Ngebolang Kuy! Edisi Borobudur

About Me